8.30.2006

Sindroma Inferior





Katanya bangsa Indonesia itu kelamaan dijajah, sampe gak punya harga diri.
Mulai dijajah Belanda, dijajah Inggris, dijajah Jepang, dijajah Soeharto, sampe dijajah infotainment, membuat kita menjadi bangsa yang inferior.
(Desainer Inferior? Haiyah….)

Paling tidak itu yang dipercayai oleh sebagian besar orang Indonesia sendiri.
Ngeliat ada orang nyerobot antrian,
Ngeliat orang dateng telat,
Ngeliat bonek, bobotoh, dan jakmania rusuh,
Ngeliat orang2 rebutan keliatan sorot kamera di belakang reporter,
Ngeliat negatif ini,
Ngeliat negatif itu,

Langsung yang keluar: “Dasar melayuuuuuuuu…”

( + Padahal Melayu kan gak Indonesia doang?
- Lho Melayu itu Jawa lho… Melayu karo Melaku…haiyaahhhhh!!!)

Mungkin itu juga yang ada di otak Nadine, waktu dia milih pake bahasa Inggris belepotan daripada bahasa Indonesia pas diinterview di ajang Miss Universe.

Mungkin itu juga yang ada di otak salah satu mantan rekan kerja gue, waktu dia ngomong:
I mean, cmon, geto lowh… at the end of the day kita bisa menunjukkan how lengkapnya servis kita…”

(Dan biasanya gue akan menundukkan kepala sambil melakukan ketololan yang sama, bergumam, “Owhh pllleaseeee…” =p )

Di timnas sepakbola, kita bisa ngeliat Ponaryo Astaman dkk, keliatan banget “minder” ngadepin musuh, meskipun masih di level Asia Tenggara. Kadang keliatan kurang konfrontatif buat ngerusak emosi lawan. Nrimo ing pandum bola dan keputusan wasit.

Dulu gue paling sebel sama salah satu kakak gue.
Karena sindroma inferior, makanya dia itu selalu memosisikan diri sebagai orang yang perlu dikasihani.

Kalo gue cerita ke dia bahwa gue dan temen-temen gue ke Fire atau Musro (anjrittttttt ketauan banget angkatannyaaaaa), dia bakal ngomong:
“Disko tuh kayak gimana sih??? Aku tuh belum pernah ke disko…”

Atau kalo gue ngebahas tipe-tipe HP terbaru (padahal cuman ngebahas lho…secara HP Nokia 3650 gue dah gue pake hampir 3 tahun!!!) , langsung dia nyamber:
“ Wah canggih-canggih banget ya, kalo punyaku boro-boro ada kamera, layar aja masih monochrome…”

Sesebel-sebelnya gue dengan segala sindroma inferior, tapi ternyata lebih pedih lagi punya sindrom superior.
Seperti yang gue rasain saat tumbang di final pitch sebuah bank beberapa minggu lalu.
Dengan segala keoptimisan dan rasa superior ternyata membuat sebuah kekalahan itu begitu menyakitkan.

Gue jadi tauk rasanya Brazil, Inggris, dan Jerman di Piala Dunia kemaren…

But anyway…. (Anak2: SEEEEEEEEKKKKKKK!!!)
Entah karena itu atau enggak,
tapi gejala sindroma inferior menghinggapi gue belakangan ini.
Sindroma yang sebenernya punya bibit tumbuh subur dalam diri gue dari dulu dan mati-matian berusaha gue kontrasepsikan biar gak berkembang, ternyata tiba-tiba menyeruak.

Kenapa Sek, kenapa? Ha? Ha?


Well I guess...karena gue orang Indonesia….”

I guess mbelgedessz!!!




Meja baru di "pojokan nekat ngerokok" Adwork.
300806
Miss? Missed? Mistress...

8.11.2006

Perjalanan Waktu








Sinar matahari jatuh di keningnya.
Sesaat kulihat dia berkernyit.
Guratan usia tampak bertumpuk di kepalanya.
Satu, dua,..
Keinginanku untuk menghitung hilang seketika.
Kata orang hidup itu bukan matematika.
Dan memang,
karena lalu lintas Jakarta pun membenarkannya.
Sekaligus membenamkannya.
Sorot matanya masih tajam.
Kadang bergerak liar.
Sorot yang sering membuatku bergidik.
Entah kapan saja kutak ingat semua.
Tapi yang kutahu
tak cuma sorot seperti itu yang dia punya.
Dia juga kadang punya semburat kehangatan.

Kali ini sorot matakulah yang jatuh ke perutnya.
Timbunan lemak tak lagi bisa disamarkan.
Oleh baju lamanya yang sudah melar tak karuan.
Tak ada sedikitpun kesempurnaan di perawakannya.
Termasuk lengan besarnya yang bertulang kecil.
Termasuk uban sporadis di kepalanya.
Termasuk anting di telinga kirinya.
Termasuk bibir tebalnya yg kehitaman
yang sejurus kemudian sudah mengepulkan asap
Membuatku menutup hidung dengan perlahan.
Kuintip sederet gigi yang tak rapi muncul di balik bibirnya.
Membuatnya makin tampak mengerikan
buat orang lain.
Tapi entah kenapa,
tidak buatku.

Tiba-tiba,
jemarinya yang berkuku panjang menyapa kulit rambutku.
Aku diam tak bergerak.
Perlahan jemarinya turun menelusuri wajahku.
Aku tak berusaha menghentikannya.
Kehangatan terasa di tiap sentuhannya.
Kemudian dia mendekatkan mukanya ke mukaku.
Bau rokok kretek khas tercium dengan jelas.
Bibirnya yang hitam menghampiri bibirku.
Dan dia mulai mengecup bibirku.
Kemudian dahiku.
Kedua pipiku.

Dan aku membalas.
Mencium dahinya.
Hidungnya.
Bibirnya.
Dan dagunya.

Sebuah kebiasaan
yang katanya sudah kulakukan dari saat umur 1,5 tahun

“Ati-ati pulangnya ya, Nai….”

Seperti biasa.
Aku tak pernah bisa membedakan.
Apakah ia memanggilku “nak” atau “Nai”.

“Iya, Pa. Doain Naia ya. Papa juga ati-ati ke kantor. Jangan panasan kalo nyetir “

Dia cuma terkekeh.
Aku mencium punggung tangannya.
Kemudian turun dari mobil.
Dia menggoyangkan lengannya berputar berporoskan siku
Dadah Miss Universe, kami menyebutnya.

Mobil bergerak.
Tinggalkanku berdiri di depan sekolah.
Masih memandanginya di kejauhan

Memandangi papaku.
Yang aku sadar jauh dari kesempurnaan.
Tapi kutahu dia mencintaiku sepenuh hatinya….




You know, that in twenty years or more,
You still look the same as you do today.
You'll still be a young girl, when I'm old and grey.
- Genesis ~ Anything She Does (1987)






Meja di Adwork dengan sebotol cap tikus di atasnya.
110806
Lust. Lost. Love.