10.18.2006

Topengmu Hari Ini





Sebuah sambal teroles di muka. Bedebah. Pedasnya minta ampun.
Bukan. Ini bukan tentang siapa-siapa—Mmm.. sebenarnya tentang siapa-siapa.
Tapi bukan siapa-siapa penting. Bukan yang biasa cabuli logika orang kecil. Atau yang biasa sunat nurani. Bukan.

Ini tentang orang biasa. Ini tentang Schmidt--Memang tak sepenuhnya dia. Apalagi aku hanya mengintip ekornya. Tapi entah kenapa itupun sudah cukup jadi pengganti sendok pengoles.

Ini tak cuma tentang Schmidt. Ini juga tentang Rayhan. Atau Rehan. Entah aku juga agak tak peduli. Dan itulah masalahnya.

Kataku peduli adalah peduli. Tak peduli adalah tak peduli. Entah di hati, entah di otak, entah di tangan, entah di omongan, atau di kemaluan. Kata mereka peduliku bukan peduli. Apalagi tidakpeduliku. Mereka lebih tidak peduli lagi. Mungkin.

Ini memang tentang mereka—Mmm.. tapi tentangku juga.
Tentang mereka yang petentengan di depan kamera hidup. Tentangku yang bercermin di bayangan mereka. Bayangan yang jatuh di tembok dari sorot spotlight. Di balik temaramnya tirai yang jatuh perlahan.

Pertunjukan usai.

Dan siapa peran yang kumainkan selama ini?
Segelintir mengangguk-angguk. Dua gelintir bertepuk tangan. Sisanya pulang ke rumah masing masing.
Bermain dengan anaknya. Mungkin.
Tonton DVD bajakannya. Barangkali.
Mainkan PS nya. Siapa tahu.
Baca koran sambil buang kotorannya.
Beri makan anjing setianya.
Setubuhi istrinya.
Gelomohi kekasihnya.
Tidur nyenyak.
Dan mereka bangun esok hari dijejali infotainment pagi.

Selesai.

Tak ada sisa topengku. Apalagi Confetti.
Ludas ditelan Betara Kala.

Selesai.

Tak ada sekuel.


*Terinspirasi oleh Schmidt, Rayhan, Bamos & Oca.



Meja di pojokan seberangan mushola Adwork.
181006
Chance.Choice.Change

10.11.2006

Doa Dongak





Malem itu, seorang pengusaha besar di Indonesia lagi duduk di ruang TV rumahnya bareng istrinya. Abis pestain ultah anaknya, kecapekan. Mereka berduaan leyeh-leyeh sambil nonton sebuah acara di Cable TV.
“Bu…gila yah… Trump itu kalo bikin jamuan makan malem… Orang gila…bener-bener gila..”
Si pengusaha ngebahas acara yang dia tonton.
“He-eh”, sang istri menyahut males-malesan…

*

Pagi itu, sambil nikmatin 1 slice pizza sisa pesenan semalem, gue baca-baca majalah fashion di meja makan. Entah tuh majalah punya siapa, mestinya punya bini gue ya. Bukti iklan di bawa pulang he he he…
Anjrit! Ada seorang pengusaha Indonesia ngabisin biaya ampir 1 M buat pesta ultah anaknya. Makanan mewah ala eropa, menjadi cost center terbesar. Hampir Rp 600 juta sendiri!
Sinting…
Geblek…

*

Malem itu, babysitter dan pembantu gue diem-diem “ngerasanin” gue. Mereka setengah sebel, karena gue jarang banget makan makanan rumah yang udah dimasakin. Suka tiba-tiba pesen Pizza Hut lah, KFC lah. Padahal kadang abisnya bisa seperempat gaji mereka sendiri, gitu sekali pesen.
“Mending duitnya buat kita kali yah….”

*

Malem itu, Mak Ijah, tukang pijet langganan gue yang kebetulan abis mijet nongkrong di dapur gue. Bertigaan ngobrol sama pembantu dan babysitter gue. Dasarnya orang betawi kalo ngomong kenceng, jadi gue denger pas dia ngomong sinis:
“Biar kate makanan maren juga pan misi bisa dimakan, ngapah dibuang! Mending buat saya ajeh! Mayan saya ngirit makan sehari, pan…”

*

Detik itu, pengusaha besar dan istrinya, gue dan istri gue, babysitter gue, pembantu gue, Mak Ijah, dan ada anak-anak kecil entah siapa--dari dandanannya kayaknya mereka anak jalanan--semua berdiri berjajar rapi di sebuah ruangan limbo putih bersih.

Tiba-tiba sebuah lighting menyala terang bikin kita semua hilang dibalik silaunya cahaya itu seolah-olah ruangan limbo itu jadi putih bersih.

Sebuah tulisan muncul.


Terima kasih Tuhan kau berikan Ramadan,
sehingga kita semua tahu rasa syukur ,
tak hanya saat menunduk, tapi juga saat mendongak…






Meja di bawah AC ruang campur lt 2 Adwork.
111006
Tindak.Tanduk.Tunduk.