Apa yang paling nyebelin –sekaligus juga
menyenangkan-- dari twitter?
Twitter itu… semua hal HARUS dibahas! :p
Yang gak penting dibikin penting.
Sementara yang penting dibahas berlebihan.
Kalau perlu diperdebatkan berlarut-larut, malah.
Beberapa tahun intens main di sosial media yang satu ini,
kadang bisa membuat kita jadi ‘ahli nujum’. :D
Bisa nebak kira-kira apa yg bakal ramai dan kayak apa ramainya di twitter.
Contohnya Hari Ibu, 22 Desember ini.
Sudah hampir bisa dipastiin tweet-tweet bakal banyak diisi testimonial dan ‘puja-puji,’ plus
kalimat-kalimat inspirasional tentang Ibunda masing-masing.
Biasanya bakal ada beberapa seri tweet yang bercerita slice of life kehidupannya dan gimana
hebatnya sang ibu.
Biasanya tweet-tweet sejenis itu bakal nerima sambutan
–sekaligus ‘sambitan’—dari yang lain.
Sambutannya tentu yang positif dan ngerasa ikut terinspirasi sama tweet-tweet jenis beginia. Tapi yang nyinyir dan ngasih sambitan, juga pasti bakal bermunculan.
Sambitannya bentuknya bisa sebuah pertanyaan:
“Harusnya gak perlu
ada tuh hari ibu. Kan tiap hari harusnya jadi hari ibu. Emangnya elo cuman ngehargain
nyokap lo setahun sekali?”
Atau:
“Eh kalo emang elo
ngehargain nyokap lo, ya ngomong langsung sana, kok malah ngomong ke twitter…”
Oh! Oh! Oh!
Belom selesaaaiii!
Jangan lupa, ada yang biasanya lebih keras dengan ngebahas
dari sisi lain:
“Yang bener itu Hari
Perempuan. Bukan Hari Ibu! Jadi hari ini tuh milik semua perempuan, bukan cuman
kaum ibu! “
Perdebatan biasanya kemudian makin seru dan makin meluas yang
kadang-kadang bahkan ujung-ujungnya melebar jadi ‘perang gender’ he he..
Tapi mari kita lihat dari sisi baiknya.
Ini artinya semua orang ngerasa Hari Ibu itu penting.
Atau paling gak cukup penting untuk dijadikan isu penting.
Atau paling gak…. cukup penting untuk semua orang ngerasa
jadi orang penting dengan ngebahasnya di twitter. :))
Mungkin karena tiap orang pasti lahir dari seorang ibu.
Laki-laki maupun perempuan.
Gak ada satupun manusia di dunia ini yang gak lahir dari
rahim seorang ibu.
Konon, rasa sakit waktu ngelahirin anak itu, adalah rasa
sakit yang paling luar biasa yang bisa dirasain oleh seorang manusia.
Gue pake kata ‘konon’ tentunya karena gue gak
pernah dan gak bakal bisa ngelahirin, jadi gak tauk rasanya.
Rasa sakit yang paling luar biasa yang pernah gue rasain cuma waktu timnas Indonesia dikalahin Malaysia di SEA Games 2011 atau AFF
Cup 2010 dan 2012…. *tsaaaah…
Baiklah.
Kembali ke soal ibu.
Apa yang membedakan saat kita masih single dengan saat kita
sudah menikah dan punya anak?
Buat gue pribadi perubahannya itu adalah: penghargaan gue
ke orang tua gue mendadak berubah drastis.
Jadi orang tua itu berarti menempatkan diri kita pada
posisi yang sama dengan orang tua kita, waktu membesarkan kita.
Yang artinya ngerasain sendiri betapa sulitnya bagi
waktu, pikiran, perhatian, dan tenaga buat anak-anak kita.
Jadi orang tua itu
ternyata gak gampaaaangggggg, boooooookkkkk!
Ini ‘memaksa’ kita
mengagumi seorang perempuan yang menjadi ibu.
Sebagai seorang anak laki-laki –kebetulan satu2nya-- dari
empat bersaudara. Gak heran kalo gue cukup dekat sama nyokap. Kata
orang, anak laki-laki memang lebih mudah dekat sama nyokap. Paling gak itu
yang terjadi dalam kasus gue, karena nyokap gue adalah seorang ibu rumah tangga,
yang artinya secara keseharian akan lebih banyak waktu yang gue habiskan sama beliau daripada sama bokap gue.
Pada waktu nulis ini kebetulan dua anak gue lagi gak enak badan. Anak gue cewek yang pertama, Naia 8 tahun, dan anak gue cowok yang kedua, El 20 bulan, sama-sama lagi
demam panas. Kebayang kan kalau dua anak gak enak badan?
Merengek penuh
manja.
Sasaran kemanjaannya sudah hampir pasti bundanya.
Dua-duanya cuma mau tidur sama bundanya.
Inilah momen-momen di mana Ayah gak laku! :)))
Memori gue pun langsung jatuh ke nyokap.
Kayak gimana ya kira-kira kalau keempat anaknya waktu itu sakit
berbarengan?
Ngadepin rengekan keempat anaknya yang kurang enak badan,
pasti adalah sebuah ‘teror’ yang melelahkan.
Yang gue rasain dengan dua anak saja udah melelahkan,
apalagi dengan empat anak.
Gak kebayang lagi kalau seorang Ibu yang punya lebih dari
empat anak…
Dengan pengalaman seperti itu, gak heran, nyokap gue sering
ikutan ngasih nasihat-nasihat soal mengasuh dan membesarkan anak.
Nasihat-nasihat yang sering gue salahartikan sebagai
keikutcampuran.
Nasihat-nasihat yang sering gue abaikan karena kekunoannya…
Padahal,
dengan segala keterbatasan finansialnya waktu itu,
dengan segala keterbatasan akses informasi di masa itu, beliau berhasil
bahu-membahu sama bokap, menunaikan tugasnya sebagai orang tua,
membesarkan 4 anak dengan selisih 2-3 tahunan antar anak, biayain sekolahnya, ngasih makan, mengasuh, nyediain waktu, tenaga, pikiran, dan perhatian buat
empat orang anaknya dengan adil.
(Iya sih sekarang
bisa bilang adil, dulu aja ngerasa
dibeda-bedain :p)
Jadi…
Apapun itu namanya,
Hari Ibu atau Hari Perempuan, memang layak untuk kita
rayain.
Paling gak itu bakal ngingetin kita bahwa ada seorang
perempuan yang berjasa membesarkan kita jadi kayak sekarang.
Sama kayak kita merayakan hari kemerdekaan buat ngingetin kita udah merdeka dari jajahan bangsa asing …
Makanya, maaf, kalau hari gini, masih pada berdebat soal
Hari Ibu.
Gue malas ikutan.
Gue lebih pilih ngabisin energi buat meluk
perempuan-perempuan yang ada di sekitar gue.
Terutama yang udah jadi ibu.
Selamat Hari Ibu, teman-teman…
Shadow boxing when I heard you on the radio
I just don't know
What made you forget that I was raw?
But now I got a new tour
- Mama Said Knock You Out ~ LL Cool J (1990)
181212
Ruang Ijo Gantinya Ruang Kuning Narrada Lt 2
Ibu. Bapak. Anak..
[uncut & casual version blog postingan gue di Ayahbunda ]
No comments:
Post a Comment