Suara yang muncul belakangan. Berbunyi membelakangi nalar. Yang tak pernah didengar. Samar. Lamat-lamat. Lama-lama hilang.
4.23.2004
Kotak-Kotak
Yep!
Seperti baju flannel anak-anak SMA PL jaman gue di sana--sekarang kayaknya bahannya udah bukan flannel lagi, seragam pula, SMU pula, namanya!
(Apa bedanya lo ama anak-anak negeri!)
Yep!
Seperti perut Anastacia penyanyi theme songnya World Cup 2002—yang ngepetnya, dia sebenernya gak tau apa-apa soal sepakbola. Football!
Bukan Soccer kayak bahasa state anjing lu itu.
(Football punya lu itu banyakan dibawa lari pake tangan…trus apa “foot”-nyaaaa!!!?? )
Yep!
Kayak yang dibawa pengemis-pengemis berbaju agama di perapatan jalan buncit – duren tiga selatan, tiap gue pagi lewat.
Minta diisi duit sekedarnya yang katanya buat pesantren—entah bener buat mbangun pesantren atau buat ngewein pesinden,
walahuallam...
Yep!
Kayak sarung yang biasa direngekin bocah-bocah salah didik tiap lebaran.
Semua musti baru.
Pasti gedenya tuh bocah-bocah bakal jadi tipe yang selalu pengen mobil tipe baru, handphone tipe baru,
lo pikir bapak ibu lo berak duit, gak sakit, haaa..!??
Yep!
Kayak bentuk tuts keyboard (tuts bukan sih istilahnya?) yang sekarang lagi gue pencet-pencet buat mengartikulasikan isi otak gue di secarik monitor tolol yang gak pernah kedip setiap kali gue di depannya.
Iya..iya..gue tau gue kayak nicholas cage!!
Yep!
Kayak ubin porselen di rumah kita-kita yang beruntung.
Yang punya tempat tinggal dengan penadah atas, bawah, dan samping, untuk makan, istirahat, mandi, make love, dan nonton TV Kabel—itu keberuntungan yang lain!
Yang kadang kotor karena gak pernah kita sapu dan pel, karena milih nyapu pandangan ke muka-muka bening gender lain sambil ngepel dance floor club.
Sadar gak disadarin, kita emang hidup di tempat yang penuh dengan kotak-kotak.
Yang entah udah ada di sana dari dulu secara turun temurun atau yang sadar nggak sadar kita ciptain sendiri
dan ikut kita warisin.
Ketika salah seorang temen gue di sebuah milis menganggap gue aneh bak makhluk 2 alam karena doyan Linkin Park tapi juga dengerin Bill & Brod yang ngetop dengan lagu “Singkong dan Keju” itu, dahi gue berkerut.
Apalagi konteks pembicaraan disangkutin sama target market dalam sebuah strategi pemasaran, termasuk komunikasinya.
“Seorang Sesek mau dikategorikan sebagai siapa?? ”, begitu kata temen gue.
Anjing! Bener juga ya!?
Tapi apa memang kita harus selalu berada di dalam kotak-kotak imajiner yang kita atau orang lain ciptakan.
Yang kadang lebih banyak ruginya dibanding untungnya.
Kenapa item selalu diasosiasikan sama sesuatu yang negatif—contoh black magic, dan putih sebaliknya?
Kenapa orang-orang doyan bener masuk kotak-kotak TPS, nyoblos2in form kotak-kotak, yang isinya muke-muke gak mereka kenal dan simbol-simbol yang semrawut tanpa estetika grafis?
Kenapa pencinta musik klasik selalu dibilang berkelas dibanding pencinta musik rap.
Kenapa Bill & Brod mendikotomikan Anak Singkong dengan Anak Keju?
Just wondering seperti apa sebenernya dunia kita yang katanya berbetuk planet non-kotak kalau gak ada kotak-kotak imajiner itu.
Mungkin akan lebih peaceful…..
but dull!
Sesek sendiri lebih pengen yang mana?
Gue memilih hidup yang gue jalanin sekarang.
Bukan karena gue cinta kotak-kotak.
Karena memang tak ada pilihan untuk menjalani kehidupan yang lain…
Meja Pojok Lt. Tiga XCR
230404
Passionate