8.11.2006

Perjalanan Waktu








Sinar matahari jatuh di keningnya.
Sesaat kulihat dia berkernyit.
Guratan usia tampak bertumpuk di kepalanya.
Satu, dua,..
Keinginanku untuk menghitung hilang seketika.
Kata orang hidup itu bukan matematika.
Dan memang,
karena lalu lintas Jakarta pun membenarkannya.
Sekaligus membenamkannya.
Sorot matanya masih tajam.
Kadang bergerak liar.
Sorot yang sering membuatku bergidik.
Entah kapan saja kutak ingat semua.
Tapi yang kutahu
tak cuma sorot seperti itu yang dia punya.
Dia juga kadang punya semburat kehangatan.

Kali ini sorot matakulah yang jatuh ke perutnya.
Timbunan lemak tak lagi bisa disamarkan.
Oleh baju lamanya yang sudah melar tak karuan.
Tak ada sedikitpun kesempurnaan di perawakannya.
Termasuk lengan besarnya yang bertulang kecil.
Termasuk uban sporadis di kepalanya.
Termasuk anting di telinga kirinya.
Termasuk bibir tebalnya yg kehitaman
yang sejurus kemudian sudah mengepulkan asap
Membuatku menutup hidung dengan perlahan.
Kuintip sederet gigi yang tak rapi muncul di balik bibirnya.
Membuatnya makin tampak mengerikan
buat orang lain.
Tapi entah kenapa,
tidak buatku.

Tiba-tiba,
jemarinya yang berkuku panjang menyapa kulit rambutku.
Aku diam tak bergerak.
Perlahan jemarinya turun menelusuri wajahku.
Aku tak berusaha menghentikannya.
Kehangatan terasa di tiap sentuhannya.
Kemudian dia mendekatkan mukanya ke mukaku.
Bau rokok kretek khas tercium dengan jelas.
Bibirnya yang hitam menghampiri bibirku.
Dan dia mulai mengecup bibirku.
Kemudian dahiku.
Kedua pipiku.

Dan aku membalas.
Mencium dahinya.
Hidungnya.
Bibirnya.
Dan dagunya.

Sebuah kebiasaan
yang katanya sudah kulakukan dari saat umur 1,5 tahun

“Ati-ati pulangnya ya, Nai….”

Seperti biasa.
Aku tak pernah bisa membedakan.
Apakah ia memanggilku “nak” atau “Nai”.

“Iya, Pa. Doain Naia ya. Papa juga ati-ati ke kantor. Jangan panasan kalo nyetir “

Dia cuma terkekeh.
Aku mencium punggung tangannya.
Kemudian turun dari mobil.
Dia menggoyangkan lengannya berputar berporoskan siku
Dadah Miss Universe, kami menyebutnya.

Mobil bergerak.
Tinggalkanku berdiri di depan sekolah.
Masih memandanginya di kejauhan

Memandangi papaku.
Yang aku sadar jauh dari kesempurnaan.
Tapi kutahu dia mencintaiku sepenuh hatinya….




You know, that in twenty years or more,
You still look the same as you do today.
You'll still be a young girl, when I'm old and grey.
- Genesis ~ Anything She Does (1987)






Meja di Adwork dengan sebotol cap tikus di atasnya.
110806
Lust. Lost. Love.

7 comments:

dikisatya said...

Duh si Papa...
Jadi keinget hari-hari lembur deh. Hari-hari pulang pagi gak ketemu deh. Week-end2 yang terkorbankan deh.

Duuuuh si Papa Naia.


cup-cup,
Papa Kiara.

rangga said...

hmmm...

*tiba-tiba berpikir*

oca said...

happy father's day..
lho? :P

Bucin said...

aha... jadi komen lu yg di postingan gw "Diam = Emas" itu ternyata jeritan hati terdalam ya... qeqeqe

papa ilham & zahra
(duh, kenapa gw jd ikut2an ama panggilan kaya' gini?)

cc-line said...

belon lengkap rasanya Qe, kalo belon sampe kepikiran.... suatu saat nanti loe juga akan seperti papamu....
walau loe bukan dia....

uhuk2... aq jadi sedih.. :((

Nurul Diana said...

duh..
kirain puisi ciuman apa..taunya antara anak sama bapaknya toh..hihihi...ada ada aja..
cup cup buat naia..

Blogger said...

Did you know that you can make cash by locking premium pages of your blog or site?
All you need to do is to open an account with Mgcash and embed their content locking tool.